Rabu, 04 Januari 2017



AKAD PERBANKAN SYARI’AH

Dalam setiap transaksi syariah, seperti transaksi jual-beli atausejenisnya dan mu’amalah yang lain, baik antara orang perorangan ataulebih, perorangan dengan lembaga atau antar lembaga, sudah barang tentuharus ada jalinan ikatan (akad) yang jelas diantara mereka, dalam hal apamereka bertransaksi dan bagaimana perikatan yang dibangun antara parapihak untuk dapat mewujudkan obyek yang berkait dengan perikatantersebut. Akad (perikatan) tersebut memberi informasi dan formulasi yangmenggambarkan tentang hak dan kewajiban masing-masing fihak danperanannya dalam merealisir obyek perjanjian yang menjadi tujuan denganmasing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang mengikat atasobyek prikatan sampai pada hal yang menyangkut proses penyelesaian bilamana terjadi kegagalan atau wanprestasi diantara para pihak.
Akad/perjanjian mengatur hubungan keterikatan antara para pihakmengenai hak dan kewajiban yang memuat tentang identitas pihak-pihakterkait, di satu pihak dapat bertindak atas nama hukum atas hal-hal yangberkaitan dengan akad/perjanjian dimaksud dan di lain pihak bila tidakdapat melaksanakan janjinya maka akan menerima sanksi hukum sesuaidengan materi akad perjanjian yang telah disepakati bersama.
Secara garis besar dijumpai dua bentuk akad transaksi syariah, yaitu akad tabarru’ dan akad tijaroh (bisnis).
1.      Akad tabarru’ (kebajikan) yakni akad dalam transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih dan tidak profit oriented (tujuan keuntungan).Akad Tabarru’ berguna untuk tujuan adanya rasa saling menolong antarsesama dengan tanpa mengharap adanya balasan (imbalan keuntungan)kecuali pahala dan ridho Alloh, sehingga masing-masing pihak tidakdapat mengambil keuntungan dari bentuk trnsaksi tersebut. Yang tergolong dalam transaksi syariah ini antara lain: Qordh, Rohn, Hawalah,Wakalah, Wadi’ah, Kafalah dan Waqaf.
2.      Akad tijaroh (bisnis) yang merupakan jenis akad transaksi perjanjianantara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk mendapatkankeuntungan (profit oriented bisnis).Akad Tijaroh digunakan dalam transaksi syariah yang mempunyai tujuanmendapatkan keuntungan (profit oriented bisnis), dan masing-masingpihak terkait berhak untuk mendapatkan bagian keuntungan sesuaidengan besaran yang telah disepakati bersama. Akad tijaroh bisa diubahmenjadi akad tabarru’ bila dilakukan dengan ikhlash dan sebaliknyaakad tabarru’ tidak boleh digantikan akad tijaroh.15
Dalam berbagai bentuk transaksi syariah yang dilakukan oleh para pihak yang berakad, sangat memungkinkan untuk terjadinya perubahan akad. Satu akad tidak lagi untuk satu obyek transaksi, tetapi bisa terjadi satu akad untuk dua transaksi atau lebih. Dalam hal ini ada 2 hal yang harus dihindarkan (tidak boleh dilakukan), karena akad akan menjadi rusak (fasid) atau batal dan tidak berlaku lagi, yakni dalam hal;
1.      Penggunaan dua akad dalam satu transaksi syariah secara bersamaan dan hal ini sangat tidak dibenarkan dalam syara’. kebersamaan dimaksud antara lain; terkait dengan pihak yang sama; obyek yang sama; danrentanag waktu yang sama pula.
2.      Keterkaitan (ta’alluq) satu akad dengan akad yang lain. Misalkan pinjaman sejumlah dana tertentu dengan kesediaan menjadi besan, dansebagainya.
Sedang kedua akad yang boleh dikombinasikan adalah antara lain dalam hal;
1.      Antara akad tabarru’ dengan akad tabarru’ (wakalah dan wakaf)
2.      Antara akad tijaroh dengan akad tijaroh (bai’ dan tijaroh)
3.      Antara akad tabarru’ dengan akad tijaroh (rohan dan tijaroh)

1.      Prinsip Pinjam Meminjam Berdasarkan Akad Qardh
Prinsip keempat dalam penyaluran dana Bank Syariah yaitu prinsip pinjam meminjam berdasarkan qardh. Bank Indonesia mendefinisikan Al-Qardhsebagai penyediaan dana atau tagihan antara Bank Syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran sekaligus atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan Safi’i Antonio memberikan pengertian al-qardhsebagai pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dengan kata lain qardhberarti meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Penerapan prinsip Al-Qardhdalam perbankan syariah biasanya dilakukan kepada orang atau nasabah yang sangat memerlukan dana, terutama kepada nasabah yang kurang mampu atau usaha kecil. Pinjaman yang diberikan tersebut tidak disertai tambahan pada saat pengembaliannya. Namun, nasabah tetap diwajibkan mengembalikan jumlah dana yang dipinjamkannya. Oleh karena itu pembiayaan ini bersifat khusus dan memerlukan sumber dana tersendiri yang biasanya bersumber dari modal yang dialokasikankhusus untuk tujuan itu atau dana yang dari sadaqoh, infak, atau zakat.
Di beberapa bank syariah, telah disediakan pembiayaan khusus untuk tujuan sosial, terutama dalam membantu fakir miskin atau pengusaha kecil yang membutuhkan dana untuk tujuan usaha. Dana untuk tujuan sosial ini disebut al-qardh al-hasan.
Pengembalian pinjaman tersebut dapat dilakukan sesuai kemampuan nasabah misalnya secara harian atau mingguan. Bagi bank syariah, al-qardhmenjadi suatu produk pembiayaan, dimana nasabah diberikan suatuplafon pembiayaan untuk menutupi suatu pembayaran dan akan dikembalikan secepatnya sejumlah yang dipinjam. Oleh karena itu, al-qardhjuga disebut sebagai pembiayaan dana talangan bagi nasabah atau sebagai sumber dana talangan antar bank.

2.      Al –Wakalah
Al –Wakalahsecara harfiah berarti penyerahan, pendelegasian, ataupemberian mandat. Dalam aplikasi perbankan, al-wakalahterjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu, seperti pembukaan L/C, inkaso, dan transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, mudharabah, atau musyarakah. Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure yang menjadi tanggung jawab nasabah. Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, masing-masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang, dan tanggung jawab bank harus jelas, sesuai kehendak nasabah. Setiap tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus mampu dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapatkan imbalan (fee) berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.

3.      Al-Kafalah
Al-Kafalahadalah garansi atau jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk menanggung kewajiban pihak kedua ( tertanggung ) apabila tertanggung tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sebagaimana halnya dalam praktik bank konvensional, perbankan syariahpada dasarnya dapat memberikan jaminan berupa garansi bank kepada nasabahnya, antara lain misalnya jaminan bank ( bank garansi ) dalam rangka pelaksanaan proyek, jaminan mengikuti tender, jaminanuntuk mengeluarkan barang impor di wilayah kepabean ( misalnya di pelabuhan ) sebelum dokumen impor dilengkapi. Untuk mendapatkan garansi bank, bank dapat mempersyarakat nasabah untuk menempatkan atau menyetor sejumlah dana untuk mendapatkan jasa ini, dan bank menerima dana tersebut dengan prinsip al-wadi’ah. Untuk itu bank mendapatkan imbalan atau feeatas jasa yang diberikan kepada nasabah tersebut.

4.      Al –Rahn
Al –Rahnadalah harta atau aset yang harus diserahkan oleh peminjam ( debitur ) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya dari bank.Tujuan pemberian fasilitas al –rahnoleh bank adalah untuk membantu nasabah dalam pembiayaan usahanya. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggung jawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim /qadhi. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan izin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut menjadi milik nasabah. Jika penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah wajib menutupi kekurangannya.




Sumber: Supawi Pawenang, 2017, Ekonomi Manajerial, Surakarta: Universitas Islam Batik.
http://supawi-pawenang.blogspot.co.id/
https://uniba.ac.id/utama/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar